Sebayak Lingga Karo-karo
Sebayak Lingga ada tokoh yang terkenal dari Sumatera Utara tetapi kurang terpublikasi. Bagaimana kisahnya.
Menurut Sejarah Asahan, Bayak Lingga atau Si Karo-Karo adalah seorang bomoh Asahan. Kedua putera mahkota yang sah dari Putra Tuan Batara dari Air Merah Barumun, cucu dari Batara Sinomba dan Puti Langgagani, pendiri Kerajaan Kota Pinang (Pinang Awan) asal Pagaruyung, saat akan mengunjungi Siti Ungu, adik kandungnya yang diperistri Sultan Alaiddin Riayat Syah “Al-Qahhar” dari Aceh yang membantunya merebut kembali takhta Air Merah dari saudara tirinya meminta bantuan Bayak Lingga yang banyak menguasai ilmu kedatuan dan pengetahuan bahasa.
Bayak Lingga kemudian menikahi Siti Ungu setelah putra raja Aceh lahir. Bayak Lingga setelah menikah diberi gelar Raja Bolon. Raja Aceh menurunkan Abdul Jalil yang kemudian menjadi Sultan Asahan, Raja Bolon menurunkan Abdul Karim yang menjadi Bahu Kanan bergelar Datuk Muda.
Sultan Aceh SULTAN MAHKOTA ALAM ALAUDDINRIAYATSYAH (SYAH JOHAN) juga digelar AL QAHHAR ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua (1539-M). Meskipun usahanya itu tidak berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut, maka bala tentera Aceh itu harus menyusuri pantai arah ke Selatan.
Sesampainya di sebuah muara sungai besar, sungai Asahan, maka dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui penduduk. Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang tidak tahu bahasa Melayu. Untunglah di situ ada seorang hulubalang bernama BAYAK LENGGA HARO-HARO, yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan bahwa Raja di situ adalah SI MARGOLANG SUKU PARDEMBANAN. Sultan Aceh lalu menyuruh agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai Asahan, dan kemudian lahirlah TANJUNG BALAI.
Terdengarlah kabar bahwa Raja Pinang Awan (Kotapinang) bernama BATARA SINOMBA (Marhom Mangkat Di Jambu) dari perkawinannya dengan permaisuri memperoleh 2 orang putera dan seorang puteri bernama SITI ONGGU (Puteri Berinai). Kemudian ia kawin lagi dengan seorang hambanya dan memperoleh seorang putera. Wanita hamba ini dapat mempengaruhi Batara Sinomba agar puteranyalah yang akan menggantikan kelak sebagai raja sehingga kedua orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya mereka minta tolong kepada Sultan Aceh yang balatenteranya lewat di situ. Sultan Aceh lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu membunuh Batara Sinomba dekat sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu gahara itu sebagai raja disana, tetapi sebagai balas jasa mereka mengambil Siti Onggu sebagai isteri Sultan Aceh.
Setelah sekian lama maka rindulah mereka akan adik mereka Siti Onggu itu. Lalu mereka pergi ke Tanjung Balai dan meminta tolong kepada Bayak Lengga Haro-Haro agar mau menemani mereka menghadap Sultan Aceh. Sampai di Aceh didapatinyalah bahwa adiknya Siti Onggu sedang hamil besar. Permohonan mereka kepada Sultan Aceh agar dapat membawa pulang adik mereka diperkenankan dengan syarat, bahwa bila lahir anak yang dikandung SIti Onggu seorang laki-laki, maka ia harus dirajakan di Asahan dan jatuhlah talaknya kepada Siti Onggu yang bisa dinikahi oleh Bayak Lengga Haro-Haro nanti. Putera yang lahir dari Siti Onggu itu dijadikan Raja Asahan pertama bergelar Sultan Abdul Jalil (Marhom Tangkahan Sitarak) dengan membawa benda pusaka dari Aceh sebuah Bawar dan sebuah Jorong (tepak sirih) dan sebuah lela (Si Juang nan Hilang), dan Bendahara Sakmar Diraja (asal Pasai) sebagai Bendahara dan Pemangku.
Kemudian Bayak Lengga setelah Islam kawin dengan Siti Onggu dan dia diberi gelar RAJA BOLON. Raja Bolon kawin pula dengan puteri dari Raja Si Margolang Pardembanan. Keturunannya dari perkawinan dengan Siti Onggu yaitu ABD. KARIM digelar bangsawan BAHU KANAN atau HARU DALAM, sedangkan turunannya dari perkawinan dengan puteri Si Margolang yaitu ABD. SAMAT dan ABD. KAHAR digelar BAHU KIRI atau HARU LUAR. Mereka umumnya dipanggil dengan gelar sebutan”DATUK MUDA”.
Raja Simargolang berhasil merebut pemerintahan Asahan dan menunjuk Abd. Samat sebagai Raja Kota Bayu dan Abd. Kahar sebagai Raja Tg. Pati (di atas Sirantau). Sultan Abd. Jalil terpaksa mengungsi dekat Silau Meraja yang berada dibawah Kuasa Tengku Ambang (asal Pagaruyung). Dia lalu minta bantuan ke Aceh. Banyak pasukan Aceh yang mati kena racun. Itulah dia Tanjong Tambun Tulang. Raja Simargolang akhirnya tunduk juga pada Sultan Abd. Jalil di tempat yang disebut “Padang Marjanji Aceh”. Abd. Jalil lalu membuat Istana pada pertemuan Sei Asahan dengan Sei Silau. Itulah kota Tk. Balai sekarang. Dari Panai, Baginda mendapat alat kebesaran tombak “Panca Roba”. Baginda kawin dengan puteri Raja Batak Ompu Liang.
Pada saat persiapan menyerang Johor, Sultan Aceh menerima nasehat dari permaisurinya, Putri Pahang sebagai berikut ;
…………… Lain daripada itu, bila tuanku sampai di laut Asahan, janganlah tuanku lepas meriam. Kalau tuanku berbuat itu niscaya tuanku ditahan berperang oleh raja Asahan, karena raja Asahan seorang raja yang gagah berani serta banyak rakyatnya. Akan Raja Asahan itu bergelar Sibayak. ………………..
Pada saat sampai di Laut Asahan, justeru Sultan Aceh menitahkan panglima perangnya meletuskan meriamnya yang disambut meriam Asahan. Terjadilah perang antara Aceh dan Asahan yang berakhir dengan kekalahan Asahan. Maka menakluklah Raja Asahan kepada Sultan Aceh, kemudian Rakyat Asahan diislamkan oleh Tengku Ja Pakeh.
Raja kampung Linggaraja di tanah Pakpak yang sakit berat disinggahi rombongan dukun (Guru Pakpak pitu sedalananen, namanya "Erciken tungkatna malaikat" dan "Erpustakaken pustaka najati"). Untuk mengobati raja, harus dibuang harta yang paling disayangi raja dan permaisuri. Harta tersebut adalah putra bungsu raja. Maka mengembaralah putra bungsu tersebut ke utara.
Putri raja mengingatkan abangnya yang kemudian menyusuli adiknya tersebut yang menawarkan mengembara bersama, tetapi demi menjaga kesembuhan ayahnya ditolak oleh sibungsu. Si Bungsu kemudian menetap di Kuta Suah, Lembah Uruk Gungmbelin, di dekat kampung Lingga sekarang, kemudian memperoleh tiga putra : Tembe, Cibu dan Serukati dan 1 putri : Tambar Malem. Cibu kemudian ke selatan, mendirikan kampung Kacaribu. Serukati ke utara mendirikan kampung Surbakti. Tembe dan Tambar Malem tetap tinggal dan menamai kampung tersebut sesuai kampung asal ayahnya.
Si Sulung mengembara ke barat dengan mengendarai kuda mengikuti barisan bukit yang sekarang dinamai Uruk Tapak Kuda sampai di Nodi, perbatasan Tanah Karo dengan Tanah Alas, menikah dan memperoleh 3 putra. Kampung itu kemudian ditimpa musibah banjir karena ada yang memotong binatang suci. Ketiga putranya disuruhnya mengungsi. Ketiganya tiba di barat di Tanah Gayo. Untuk tinggal di sana mereka harus disunat, tetapi kebal senjata tajam, putra ketiga meninggalkan kampung tersebut ke timur, sampai ke Perbesi. Di kampung itu diceritakan asal usulnya, dan dari informasi penduduk kampung tersebut, si bungsu ke Kampung Lingga yang penduduknya banyak berasal dari Linggaraja. Ia menginap di rumah Silebe Merdang di bagian rumah Ujundi.
Berkat kemampuannya menyelesaikan perselisihan, ia dihormati dan dikawinkan dengan wanita dari kampung Surbakti, beru Ginting Suka rumah Page, juga dikawinkan dengan beru Sebayang dari kampung Perbesi, dan beru Tarigan Girsang. Si Bungsu kemudian memerintah di kesain rumah Jahe kampung Lingga jadi perbapaan rumah Jahe dan Urung Telu Kuru.
Raja Aceh yang berkemah di Lau Bahun (antara kampung Lingga dan Surbakti) menetapkan raja-raja di tanah Karo dengan cara perlombaan menunggang kerbau hingga kerbau merendahkan badannya. Dalam perlombaan tersebut, raja dari Lingga mengalahkan raja Surbakti, Kacaribu, Beganding, Berasitepu mendapatkan pisau bawar. Bersama-sama raja Barus Jahe, Suka dan Sarinembah menjadi Raja Berempat di Tanah Karo.
Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan danMeurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri, Lamuri, Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Sejarah Asahan
Menurut Sejarah Asahan, Bayak Lingga atau Si Karo-Karo adalah seorang bomoh Asahan. Kedua putera mahkota yang sah dari Putra Tuan Batara dari Air Merah Barumun, cucu dari Batara Sinomba dan Puti Langgagani, pendiri Kerajaan Kota Pinang (Pinang Awan) asal Pagaruyung, saat akan mengunjungi Siti Ungu, adik kandungnya yang diperistri Sultan Alaiddin Riayat Syah “Al-Qahhar” dari Aceh yang membantunya merebut kembali takhta Air Merah dari saudara tirinya meminta bantuan Bayak Lingga yang banyak menguasai ilmu kedatuan dan pengetahuan bahasa.
Bayak Lingga kemudian menikahi Siti Ungu setelah putra raja Aceh lahir. Bayak Lingga setelah menikah diberi gelar Raja Bolon. Raja Aceh menurunkan Abdul Jalil yang kemudian menjadi Sultan Asahan, Raja Bolon menurunkan Abdul Karim yang menjadi Bahu Kanan bergelar Datuk Muda.
Laporan John Anderson Utusan Gubernur Penang ketika mengunjungi Asahan pada Tahun 1823 dalam bukunya "Mission Of The East Coast Of Sumatera"
Sultan Aceh SULTAN MAHKOTA ALAM ALAUDDINRIAYATSYAH (SYAH JOHAN) juga digelar AL QAHHAR ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua (1539-M). Meskipun usahanya itu tidak berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut, maka bala tentera Aceh itu harus menyusuri pantai arah ke Selatan.
Sesampainya di sebuah muara sungai besar, sungai Asahan, maka dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui penduduk. Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang tidak tahu bahasa Melayu. Untunglah di situ ada seorang hulubalang bernama BAYAK LENGGA HARO-HARO, yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan bahwa Raja di situ adalah SI MARGOLANG SUKU PARDEMBANAN. Sultan Aceh lalu menyuruh agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai Asahan, dan kemudian lahirlah TANJUNG BALAI.
Terdengarlah kabar bahwa Raja Pinang Awan (Kotapinang) bernama BATARA SINOMBA (Marhom Mangkat Di Jambu) dari perkawinannya dengan permaisuri memperoleh 2 orang putera dan seorang puteri bernama SITI ONGGU (Puteri Berinai). Kemudian ia kawin lagi dengan seorang hambanya dan memperoleh seorang putera. Wanita hamba ini dapat mempengaruhi Batara Sinomba agar puteranyalah yang akan menggantikan kelak sebagai raja sehingga kedua orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya mereka minta tolong kepada Sultan Aceh yang balatenteranya lewat di situ. Sultan Aceh lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu membunuh Batara Sinomba dekat sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu gahara itu sebagai raja disana, tetapi sebagai balas jasa mereka mengambil Siti Onggu sebagai isteri Sultan Aceh.
Setelah sekian lama maka rindulah mereka akan adik mereka Siti Onggu itu. Lalu mereka pergi ke Tanjung Balai dan meminta tolong kepada Bayak Lengga Haro-Haro agar mau menemani mereka menghadap Sultan Aceh. Sampai di Aceh didapatinyalah bahwa adiknya Siti Onggu sedang hamil besar. Permohonan mereka kepada Sultan Aceh agar dapat membawa pulang adik mereka diperkenankan dengan syarat, bahwa bila lahir anak yang dikandung SIti Onggu seorang laki-laki, maka ia harus dirajakan di Asahan dan jatuhlah talaknya kepada Siti Onggu yang bisa dinikahi oleh Bayak Lengga Haro-Haro nanti. Putera yang lahir dari Siti Onggu itu dijadikan Raja Asahan pertama bergelar Sultan Abdul Jalil (Marhom Tangkahan Sitarak) dengan membawa benda pusaka dari Aceh sebuah Bawar dan sebuah Jorong (tepak sirih) dan sebuah lela (Si Juang nan Hilang), dan Bendahara Sakmar Diraja (asal Pasai) sebagai Bendahara dan Pemangku.
Kemudian Bayak Lengga setelah Islam kawin dengan Siti Onggu dan dia diberi gelar RAJA BOLON. Raja Bolon kawin pula dengan puteri dari Raja Si Margolang Pardembanan. Keturunannya dari perkawinan dengan Siti Onggu yaitu ABD. KARIM digelar bangsawan BAHU KANAN atau HARU DALAM, sedangkan turunannya dari perkawinan dengan puteri Si Margolang yaitu ABD. SAMAT dan ABD. KAHAR digelar BAHU KIRI atau HARU LUAR. Mereka umumnya dipanggil dengan gelar sebutan”DATUK MUDA”.
Raja Simargolang berhasil merebut pemerintahan Asahan dan menunjuk Abd. Samat sebagai Raja Kota Bayu dan Abd. Kahar sebagai Raja Tg. Pati (di atas Sirantau). Sultan Abd. Jalil terpaksa mengungsi dekat Silau Meraja yang berada dibawah Kuasa Tengku Ambang (asal Pagaruyung). Dia lalu minta bantuan ke Aceh. Banyak pasukan Aceh yang mati kena racun. Itulah dia Tanjong Tambun Tulang. Raja Simargolang akhirnya tunduk juga pada Sultan Abd. Jalil di tempat yang disebut “Padang Marjanji Aceh”. Abd. Jalil lalu membuat Istana pada pertemuan Sei Asahan dengan Sei Silau. Itulah kota Tk. Balai sekarang. Dari Panai, Baginda mendapat alat kebesaran tombak “Panca Roba”. Baginda kawin dengan puteri Raja Batak Ompu Liang.
Hikayat Sultan Aceh Marhum
Pada saat persiapan menyerang Johor, Sultan Aceh menerima nasehat dari permaisurinya, Putri Pahang sebagai berikut ;
…………… Lain daripada itu, bila tuanku sampai di laut Asahan, janganlah tuanku lepas meriam. Kalau tuanku berbuat itu niscaya tuanku ditahan berperang oleh raja Asahan, karena raja Asahan seorang raja yang gagah berani serta banyak rakyatnya. Akan Raja Asahan itu bergelar Sibayak. ………………..
Pada saat sampai di Laut Asahan, justeru Sultan Aceh menitahkan panglima perangnya meletuskan meriamnya yang disambut meriam Asahan. Terjadilah perang antara Aceh dan Asahan yang berakhir dengan kekalahan Asahan. Maka menakluklah Raja Asahan kepada Sultan Aceh, kemudian Rakyat Asahan diislamkan oleh Tengku Ja Pakeh.
Menurut Cerita Rakyat Karo
Raja kampung Linggaraja di tanah Pakpak yang sakit berat disinggahi rombongan dukun (Guru Pakpak pitu sedalananen, namanya "Erciken tungkatna malaikat" dan "Erpustakaken pustaka najati"). Untuk mengobati raja, harus dibuang harta yang paling disayangi raja dan permaisuri. Harta tersebut adalah putra bungsu raja. Maka mengembaralah putra bungsu tersebut ke utara.
Putri raja mengingatkan abangnya yang kemudian menyusuli adiknya tersebut yang menawarkan mengembara bersama, tetapi demi menjaga kesembuhan ayahnya ditolak oleh sibungsu. Si Bungsu kemudian menetap di Kuta Suah, Lembah Uruk Gungmbelin, di dekat kampung Lingga sekarang, kemudian memperoleh tiga putra : Tembe, Cibu dan Serukati dan 1 putri : Tambar Malem. Cibu kemudian ke selatan, mendirikan kampung Kacaribu. Serukati ke utara mendirikan kampung Surbakti. Tembe dan Tambar Malem tetap tinggal dan menamai kampung tersebut sesuai kampung asal ayahnya.
Si Sulung mengembara ke barat dengan mengendarai kuda mengikuti barisan bukit yang sekarang dinamai Uruk Tapak Kuda sampai di Nodi, perbatasan Tanah Karo dengan Tanah Alas, menikah dan memperoleh 3 putra. Kampung itu kemudian ditimpa musibah banjir karena ada yang memotong binatang suci. Ketiga putranya disuruhnya mengungsi. Ketiganya tiba di barat di Tanah Gayo. Untuk tinggal di sana mereka harus disunat, tetapi kebal senjata tajam, putra ketiga meninggalkan kampung tersebut ke timur, sampai ke Perbesi. Di kampung itu diceritakan asal usulnya, dan dari informasi penduduk kampung tersebut, si bungsu ke Kampung Lingga yang penduduknya banyak berasal dari Linggaraja. Ia menginap di rumah Silebe Merdang di bagian rumah Ujundi.
Berkat kemampuannya menyelesaikan perselisihan, ia dihormati dan dikawinkan dengan wanita dari kampung Surbakti, beru Ginting Suka rumah Page, juga dikawinkan dengan beru Sebayang dari kampung Perbesi, dan beru Tarigan Girsang. Si Bungsu kemudian memerintah di kesain rumah Jahe kampung Lingga jadi perbapaan rumah Jahe dan Urung Telu Kuru.
Raja Aceh yang berkemah di Lau Bahun (antara kampung Lingga dan Surbakti) menetapkan raja-raja di tanah Karo dengan cara perlombaan menunggang kerbau hingga kerbau merendahkan badannya. Dalam perlombaan tersebut, raja dari Lingga mengalahkan raja Surbakti, Kacaribu, Beganding, Berasitepu mendapatkan pisau bawar. Bersama-sama raja Barus Jahe, Suka dan Sarinembah menjadi Raja Berempat di Tanah Karo.
Menurut Cerita Rakyat Gayo
Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan danMeurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri, Lamuri, Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Comments
avanza