Intrik Pemakzulan Raja Siantar
Jika Bakkara memiliki Sisingamangaraja, Simalungun memiliki Sang Nahualu Damanik yang juga keras melawan penjajahan Belanda. Sang Nahualu Damanik, diangkat oleh Belanda dalam usia masih di bawah umur, tetapi karena kebutuhan pelebaran maskapai perkebunan ke Simalungun, Belanda terpaksa mempercepat pengangkatannya menggantikan ayahnya yang mangkat. Tetapi, tidak seperti yang diharapkan Belanda, Nahualu menentang misi-misi Belanda. Belanda kemudian membuat intrik, memecat Nahualu dan menggantikannya dengan putranya yang masih kanak-kanak yakni Tuan Kadim, dan membuang Raja Siantar Sang Nahualu Damanik dan menterinya Bah Bolak ke Bengkalis Riau pada tahun 1906 hingga wafat dan dikuburkan di sana.
Sebagaimana di wilayah pengaruh Bakkara : Humbang, Silindung, Toba dan Samosir, Belanda juga memiliki misi deislamisasi di Simalungun. Pemerintah Belanda berharap missi Kristen berhasil di Simalungun sehingga Simalungun yang dianggap bagian dari negeri Batak dapat dikeluarkan dari pengaruh agama Islam.
Namun, Nahualu justeru sebaliknya. Pada tahun 1901, secara resmi ia memeluk agama Islam.
Awal abad 20 merupakan pertumbuhan maskapai-maskapai perkebunan Belanda. Mulai dari perkebunan temba kaw di Deli, perkebunan Kopi di tanah Mandailing dan perkebunan karet hampir di merata rempat di Sumatera. Simalungun menjadi target pengembangan perluasan maskapai perkebunan tersebut.
Belanda kemudian membuat intrik pemakzulan. Intrik itu sebagai akibat dari laporan Assisten Residen Simalungun dan Tanah Karo, Westenberg tanggal 25 Pebruari 1900 No. 288 mengenai situasi di kerajaan Tanah Jawa, Panei Raya, Siantar, Dolok Silau dan Purba antara lain :
Atas surat-surat Residen Sumatera Timur yang baru yang diteruskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 2478/05/3775/4 maka Raad van Nederlandsch – Indie dalam keputusan sidangnya tanggal 6 April 1906 telah mengeluarkan advis sebagai berikut :
Kontrolir Batubara Karthaus April 1905 membuat yang berisi 10 “kejahatan-kejahatan bersifat penindasan” yang konon diperbuat oleh Raja Siantar itu dengan sepengetahuan Bah Bolak dan menteri-menteri lainnya anggota-anggota Kerapatan.
Hampir semua tuduhan tidak terbukti.
Didalam tuduhan yang ke-10 misalnya Kontelir Batubara itu menulis :
“ Meskipun tidak bisa dibuktikan bahwa Raja itu membuat pemaksaan agar rakyat-rakyatnya masuk Islam, menunjuk juga tuduhan mengenai penangkapan terhadap Limahani, juga kecurigaan mengenai kasus seperti dibahas ini, yaitu kasus Sadiakin”.
Mengenai kasus seorang Batak bernama Limahani adalah sebagai berikut : Isteri dari Limahani memeluk agama Islam atas dasar kesadaran sendiri. Tiba-tiba dalam salah satu upacara perkawinan ia memaksa isterinya makan daging babi. Raja Siantar, Sang Nahualu, yang sudah memeluk pula agama Islam, marah mendengar hal ini dan lalu menutup Limahani dalam kurungan.
Kasus Sadiakin lain lagi. Isteri dan anak-anaknya pada suatu hari dirampas dan dilarikan oleh Topa. Sadiakin mengadukan halnya kepada Raja Siantar, Sang Nahualu. Raja menyuruh pindah ke Pematang Siantar dan raja berjanji akan membantu pemulangan kembali anak isteri Sadiakin. Tiada berapa lama ia berdiam di Siantar, isteri dan anak isteri Sadiakin, dapat diketemukan kembali dan diserahkan padanya. Atas terima kasihnya ia lalu sekeluarga memeluk agama Islam. Setelah beberapa lama kemudian, ia minta permisi hendak kembali ke Dolok Malela, Raja (entah sebab apa tidak diterangkan) menuntut uang ganti rugi Sadiakin tak mau bayar dan keluar dari Islam (sebab katanya masuk Islam dipaksa oleh Raja).
Residen Sumatera Timur (Schaap) dengan suratnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 25-8-1905 nomor 3775/4 mendukung tuduhan kontroler Batubara dengan menyatakan bahwa Sang Nahualu sudah di introgasinya sendiri dan katanya “sudah mengaku salah”.
Disebutnya lagi dalam suratnya itu bahwa atas dasar itu tidak mungkin lagi Sang Nahualu dipertahankan lebih lama selaku Raja Siantar, ditambahkan pula :
“Kesewenangan Raja ini terutama meningkat sejak ia memeluk agama Islam dan kini menganggap tidak lagi harus sepenuhnya patuh pada adat Batak. Dibantu dan besar kemungkinan juga dihasut oleh Orang Besarnya Bah Bollak, sang Raja mengadakan berbagai tindakan-tindakan salah dan saya tidak ragu-ragu mengatakan jika diadakan penyelidikan lebih teliti bakal banyak lagi kesalahan-kesalahan pemerintahan dari Raja ini dan konconya Bah Bollak asal saja orang di Siantar yakin Raja ini telah diturunkan dari tahtanya dan bahwa dia beserta Bah Bollak dienyahkan dari Siantar untuk sementara waktu”.
Dengan dimakzulkannya Sang Nahualu Damanik, kemudian diangkat puteranya yang masih kecil sebagai raja. Berangkat dari pengalaman kristenisasi di Silindung yang gagal mengkristenkan orang dewasa tetapi sukses besar melalui pendidikan, maka Belanda kemudian segera membaptis Tuan Kadim tersebut, kemudian mendirikan sekolah-sekolah di bawah naungan gerakan misi dan zending.
Tetapi, meski begitu, upaya kristenisasi total Simalungun gagal karena kekuasaan Belanda berakhir sebelum semua generasi muda Simalungun masuk sekolah-sekolah tersebut dan juga gelombang muallaf Simalungun lebih deras daripada kristenisasi bergaya sekolah tersebut.
Penentangan Deislamisasi Simalungun
Sebagaimana di wilayah pengaruh Bakkara : Humbang, Silindung, Toba dan Samosir, Belanda juga memiliki misi deislamisasi di Simalungun. Pemerintah Belanda berharap missi Kristen berhasil di Simalungun sehingga Simalungun yang dianggap bagian dari negeri Batak dapat dikeluarkan dari pengaruh agama Islam.
Namun, Nahualu justeru sebaliknya. Pada tahun 1901, secara resmi ia memeluk agama Islam.
Penentangan Kapitalisasi Perkebunan Belanda
Awal abad 20 merupakan pertumbuhan maskapai-maskapai perkebunan Belanda. Mulai dari perkebunan temba kaw di Deli, perkebunan Kopi di tanah Mandailing dan perkebunan karet hampir di merata rempat di Sumatera. Simalungun menjadi target pengembangan perluasan maskapai perkebunan tersebut.
Latar Belakang Pemakzulan
Belanda kemudian membuat intrik pemakzulan. Intrik itu sebagai akibat dari laporan Assisten Residen Simalungun dan Tanah Karo, Westenberg tanggal 25 Pebruari 1900 No. 288 mengenai situasi di kerajaan Tanah Jawa, Panei Raya, Siantar, Dolok Silau dan Purba antara lain :
“…………penduduk hampir semuanya masih belum beragama tetapi di dekat negeri-negeri orang Melayu agama Islam sudah dapat tempat berpijak dan memperbesar pengaruhnya secara pelan tetapi dengan langkah pasti.”
Atas surat-surat Residen Sumatera Timur yang baru yang diteruskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 2478/05/3775/4 maka Raad van Nederlandsch – Indie dalam keputusan sidangnya tanggal 6 April 1906 telah mengeluarkan advis sebagai berikut :
“ Jika seandainya Residen Sumatera Timur yang baru diangkat setuju dengan usul rekannya terdahulu mengenai apa yang akan diperbuat dengan Raja Siantar seperti yang dijelaskan secara telegrapis sebelumnya, begitu juga Raad van Ned. Indie sejalan dengan pendapatnya. Pendapat diatas dikeluarkan jika seandainya karena sesuatu alasan politik tidak jadi raja dijatuhkan atau karena pemerintah daerah sesetempat sehubungan dengan itu datang dengan usul agar ianya direhabilitir.”
Intrik Pemakzulan Raja Siantar
Kontrolir Batubara Karthaus April 1905 membuat yang berisi 10 “kejahatan-kejahatan bersifat penindasan” yang konon diperbuat oleh Raja Siantar itu dengan sepengetahuan Bah Bolak dan menteri-menteri lainnya anggota-anggota Kerapatan.
Hampir semua tuduhan tidak terbukti.
Didalam tuduhan yang ke-10 misalnya Kontelir Batubara itu menulis :
“ Meskipun tidak bisa dibuktikan bahwa Raja itu membuat pemaksaan agar rakyat-rakyatnya masuk Islam, menunjuk juga tuduhan mengenai penangkapan terhadap Limahani, juga kecurigaan mengenai kasus seperti dibahas ini, yaitu kasus Sadiakin”.
Mengenai kasus seorang Batak bernama Limahani adalah sebagai berikut : Isteri dari Limahani memeluk agama Islam atas dasar kesadaran sendiri. Tiba-tiba dalam salah satu upacara perkawinan ia memaksa isterinya makan daging babi. Raja Siantar, Sang Nahualu, yang sudah memeluk pula agama Islam, marah mendengar hal ini dan lalu menutup Limahani dalam kurungan.
Kasus Sadiakin lain lagi. Isteri dan anak-anaknya pada suatu hari dirampas dan dilarikan oleh Topa. Sadiakin mengadukan halnya kepada Raja Siantar, Sang Nahualu. Raja menyuruh pindah ke Pematang Siantar dan raja berjanji akan membantu pemulangan kembali anak isteri Sadiakin. Tiada berapa lama ia berdiam di Siantar, isteri dan anak isteri Sadiakin, dapat diketemukan kembali dan diserahkan padanya. Atas terima kasihnya ia lalu sekeluarga memeluk agama Islam. Setelah beberapa lama kemudian, ia minta permisi hendak kembali ke Dolok Malela, Raja (entah sebab apa tidak diterangkan) menuntut uang ganti rugi Sadiakin tak mau bayar dan keluar dari Islam (sebab katanya masuk Islam dipaksa oleh Raja).
Residen Sumatera Timur (Schaap) dengan suratnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 25-8-1905 nomor 3775/4 mendukung tuduhan kontroler Batubara dengan menyatakan bahwa Sang Nahualu sudah di introgasinya sendiri dan katanya “sudah mengaku salah”.
Disebutnya lagi dalam suratnya itu bahwa atas dasar itu tidak mungkin lagi Sang Nahualu dipertahankan lebih lama selaku Raja Siantar, ditambahkan pula :
“Kesewenangan Raja ini terutama meningkat sejak ia memeluk agama Islam dan kini menganggap tidak lagi harus sepenuhnya patuh pada adat Batak. Dibantu dan besar kemungkinan juga dihasut oleh Orang Besarnya Bah Bollak, sang Raja mengadakan berbagai tindakan-tindakan salah dan saya tidak ragu-ragu mengatakan jika diadakan penyelidikan lebih teliti bakal banyak lagi kesalahan-kesalahan pemerintahan dari Raja ini dan konconya Bah Bollak asal saja orang di Siantar yakin Raja ini telah diturunkan dari tahtanya dan bahwa dia beserta Bah Bollak dienyahkan dari Siantar untuk sementara waktu”.
Akibat Pemakzulan
Dengan dimakzulkannya Sang Nahualu Damanik, kemudian diangkat puteranya yang masih kecil sebagai raja. Berangkat dari pengalaman kristenisasi di Silindung yang gagal mengkristenkan orang dewasa tetapi sukses besar melalui pendidikan, maka Belanda kemudian segera membaptis Tuan Kadim tersebut, kemudian mendirikan sekolah-sekolah di bawah naungan gerakan misi dan zending.
Tetapi, meski begitu, upaya kristenisasi total Simalungun gagal karena kekuasaan Belanda berakhir sebelum semua generasi muda Simalungun masuk sekolah-sekolah tersebut dan juga gelombang muallaf Simalungun lebih deras daripada kristenisasi bergaya sekolah tersebut.
Comments
avanza